Hitam Putih~~
Lampung, 12 Oktober 2017
Di sepertiga siang, di kamarku sendiri, menatap langit-langit tipuan. Masih sama seperti kemarin. Tidak punya jawaban atas apapun. Mengapa ini terjadi lagi?
Sudah hampir lebih dari 2 bulan, bahkan aku lupa kapan waktu pertama kali ia menyapaku. Yang terlintas hanya rasa sakit dan juga sedikit kecewa. Aku tidak peduli ataukah suatu saat dia akan membaca ini. Yang aku tahu, adalah aku ingin kembali merasakan keasingan; tanpanya.
Sebelum akhirnya hati ini kembali terbelah oleh cinta yang salah. Sebelum juga aku menyesal sudah menyimpan separuh rasa untuk dia yang tak pernah lengah membuatku lelah. Aku benar-benar diuji. Antara hidup dan mati. Sekalinya benar apa kata logika, percumalah engkau rasa bila ia tidak merasa. Namun sebetulnya ini adalah perasaan yang sebanding, saling ingin mengikat satu sama lain. Sayang sekali, semua kembali lagi.
"Move sajalah! Tak usah banyak galau. Hidup itu cuman singkat. Isilah dengan hal yang lebih menyenangkan tanpa harus menyakiti dirimu sendiri. Apalagi dengan menanti jawaban yang kau pun tau itu tak berujung."
Peduli setan! Aku tak acuh apa kata mereka. Hatiku sudah melapangkan tempat untuknya. Meskipun aku tahu ini akan melahirkan dua hal, yaitu hitam dan putih. Setengahku telah terpatri kuat oleh harapan.
Ini adalah kali kedua aku melakukan hal bodoh. Hal yang tak sewajarnya meracuni, mencuciku, membuatku candu oleh kesenangan atas ribuan kata-kata manis penuh jebakan tikus. Lantas apa sekarang?
Sepasang merpati tengah diguncang oleh cobaan. Kala seseorang datang membawa cahaya indah menyilaukan. Aku terperangah hebat, melihatmu beringsut jauh; menemuinya. Meninggalkan sebelah sayapmu tanpa permisi.
Kontan aku bertanya pada alam, "Rasa apakah yang kau maksud selama ini?"
Meninggalkan, ditinggalkan, aku paham itu perihal yang biasa. Tak bisa terelakkan, menolak, apalagi berdemo demi meminta cintanya kembali. Rendah sekali. Cukuplah aku di sini, sendiri, menunggu jawaban meski belum kupertanyakan. Akankah ia mengerti?
Sudahlah! Ini bagai jeruji hati tanpa juru kunci. Kisahku kelam. Ceritaku habis tanpa adanya kejelasan. Air muka meratap, menyeduh nestapa, menangis sejadi-jadinya. Ujaran apa yang pantas?
Langit memekik tajam, mendung gelap tak bercelah sama sekali, petir menyambar tak beraturan. Kelabu itu memelukku lagi, membawa segunung angin topan penuh coretan lama tak bernyawa.
Percuma aku menanti senja bila mentari enggan menyapa. Percuma aku menyapu awan bila hembusan pilu menerpa kencang bersama luka. Aku bagaikan ranting kering yang jatuh. Tak lagi punya hak untuk sekadar hidup bersama dahan dan juga daun. Akan kuapakan?
Sampai di kemudian hari, ketika aku mulai membisu rapat, mencoba menghilang dari peradaban kota penuh kesedihan, dan saat aku sudah separuh lepas dari ikatan ketidakpahamanmu, engkau lagi mendekat. Seolah tak terjadi apa-apa kau mempertanyakan hal yang sama. Dia siapa? Sadarkah kau saat mengatakan itu? Kau berhak mencemburu sedang aku tidak?
"Komitmen?"
Ya! Mungkin hanya itu yang bisa kutamparkan dalam batin yang tertahan sejauh ini. Jalan kita sudah berbeda, biarlah aku tetap dalam lajur yang sama. Aku masih ingin menikmati hari tanpa kamu. Aku masih ingin mencoba meringankan dan mengobati lukaku sendiri.
Tetapi, kenyataan pahit membuatku tidak fokus. Kau kembali menerbangkan harumnya bunga-bunga yang kemarin sempat layu dan hampir mati. Usahamu sungguh membuahkan hasil. Rinduku terhadapmu memuncak kuat, ingin meledak bila tak kuungkapkan padamu.
"Aku rindu...."
"Aku juga rindu...."
Kau membalasku dengan perasaan yang sama. Sampai aku tak punya alasan untuk menangis sebab dirimu. Bahagia ini seakan telah bersinar setelah sekian lama tak berpendar.
"Kau tak perlu khawatir. Rasaku masih sama padamu."
Dadaku menyempit, melonggar, menghela napas penuh kelegaan atas kabar baikmu.
Lalu, kau memberitahuku bahwa sedang berada dalam kesibukan yang amat padat. Sedikit menjawab sebagian dari pertanyaan, "Engkau ke mana?" Tetapi tetap saja aku masih punya banyak tanya soal wanita lain yang tengah kau puja diam-diam.
Tahukah kamu? Seberapa berat jiwa ketika menahan rasa sakit? Seberapa redup lampu ketika kehilangan energi? Pun sama, aku lemah ketika kau menguras tenaga ini hanya untuk menahan pertanyaan penuh banyak luka.
Kau sudah beberapa kali membuatku jatuh, terbang, lalu jatuh lagi. Masih adakah aku dalam hatimu? Lantas bolehkah aku bertanya soal rasa yang sebenarnya?
Entahlah, semua ini hanyalah sebatas cerita ambigu tak bermakna. Sebab aku tidak tahu harus apa selain menulis tentang rindu dan juga luka. Dan andai saja kau mengetahui. Tetapi sudah, ya sudahlah!
Kini aku mengerti, mengerti akan kebimbanganmu. Atas keegoisanmu.
"Perasaanku kelabu."
Hanya itu yang bisa kau simpulkan dari ribuan liter air mata yang sudah-sudah? Bahkan kau pun tidak tahu ke mana hatimu ingin berlabuh?
Dan lagi! Lagi! Sekali lagi kau menghancurkan sisa kepercayaanku! Pergilah! Jika kau ingin dia! Matilah! Aku tak lagi mau menghidupkannya lagi!
Mungkin, inilah hitam putih. Seperti kehidupan yang sedang berperiode ini. Setiap kejadian, peristiwa, semua bergilir sesuai alur cerita-Nya. Kesedihan, kebahagiaan, itu juga punya tujuan.
Ini adalah emosiku. Rasaku masih ada. Tetapi tidak akan kubiarkan berterbangan ke sana kemari. Aku ingin menyimpan ini. Entah untukmu, atau mungkin untuk cinta yang lain selanjutnya. Seperti yang kau bilang kala itu, "Bila kau memang sudah ada hati untuk yang lain, mengapa tidak?"
Dan juga aku menyadari, ini menguatkanku. Membuatku kebal kala suatu saat mungkin seseorang yang sama menyakitiku, maka aku sudah berpengalaman.
Sekali lagi, percayalah. Kau bukan tersangka, tetapi kau adalah pelantara supaya aku terbiasa. Terima kasih.
Biarlah ini menjadi kenangan yang kusimpan rapi dalam nostalgia cintaku, yang mungkin beberapa tahun kemudian akan menjadi kisah klasik yang pernah membuatku menangis sekaligus tertawa.
Selesai...
Lampung, 12 Oktober 2017
Di sepertiga siang, di kamarku sendiri, menatap langit-langit tipuan. Masih sama seperti kemarin. Tidak punya jawaban atas apapun. Mengapa ini terjadi lagi?
Sudah hampir lebih dari 2 bulan, bahkan aku lupa kapan waktu pertama kali ia menyapaku. Yang terlintas hanya rasa sakit dan juga sedikit kecewa. Aku tidak peduli ataukah suatu saat dia akan membaca ini. Yang aku tahu, adalah aku ingin kembali merasakan keasingan; tanpanya.
Sebelum akhirnya hati ini kembali terbelah oleh cinta yang salah. Sebelum juga aku menyesal sudah menyimpan separuh rasa untuk dia yang tak pernah lengah membuatku lelah. Aku benar-benar diuji. Antara hidup dan mati. Sekalinya benar apa kata logika, percumalah engkau rasa bila ia tidak merasa. Namun sebetulnya ini adalah perasaan yang sebanding, saling ingin mengikat satu sama lain. Sayang sekali, semua kembali lagi.
"Move sajalah! Tak usah banyak galau. Hidup itu cuman singkat. Isilah dengan hal yang lebih menyenangkan tanpa harus menyakiti dirimu sendiri. Apalagi dengan menanti jawaban yang kau pun tau itu tak berujung."
Peduli setan! Aku tak acuh apa kata mereka. Hatiku sudah melapangkan tempat untuknya. Meskipun aku tahu ini akan melahirkan dua hal, yaitu hitam dan putih. Setengahku telah terpatri kuat oleh harapan.
Ini adalah kali kedua aku melakukan hal bodoh. Hal yang tak sewajarnya meracuni, mencuciku, membuatku candu oleh kesenangan atas ribuan kata-kata manis penuh jebakan tikus. Lantas apa sekarang?
Sepasang merpati tengah diguncang oleh cobaan. Kala seseorang datang membawa cahaya indah menyilaukan. Aku terperangah hebat, melihatmu beringsut jauh; menemuinya. Meninggalkan sebelah sayapmu tanpa permisi.
Kontan aku bertanya pada alam, "Rasa apakah yang kau maksud selama ini?"
Meninggalkan, ditinggalkan, aku paham itu perihal yang biasa. Tak bisa terelakkan, menolak, apalagi berdemo demi meminta cintanya kembali. Rendah sekali. Cukuplah aku di sini, sendiri, menunggu jawaban meski belum kupertanyakan. Akankah ia mengerti?
Sudahlah! Ini bagai jeruji hati tanpa juru kunci. Kisahku kelam. Ceritaku habis tanpa adanya kejelasan. Air muka meratap, menyeduh nestapa, menangis sejadi-jadinya. Ujaran apa yang pantas?
Langit memekik tajam, mendung gelap tak bercelah sama sekali, petir menyambar tak beraturan. Kelabu itu memelukku lagi, membawa segunung angin topan penuh coretan lama tak bernyawa.
Percuma aku menanti senja bila mentari enggan menyapa. Percuma aku menyapu awan bila hembusan pilu menerpa kencang bersama luka. Aku bagaikan ranting kering yang jatuh. Tak lagi punya hak untuk sekadar hidup bersama dahan dan juga daun. Akan kuapakan?
Sampai di kemudian hari, ketika aku mulai membisu rapat, mencoba menghilang dari peradaban kota penuh kesedihan, dan saat aku sudah separuh lepas dari ikatan ketidakpahamanmu, engkau lagi mendekat. Seolah tak terjadi apa-apa kau mempertanyakan hal yang sama. Dia siapa? Sadarkah kau saat mengatakan itu? Kau berhak mencemburu sedang aku tidak?
"Komitmen?"
Ya! Mungkin hanya itu yang bisa kutamparkan dalam batin yang tertahan sejauh ini. Jalan kita sudah berbeda, biarlah aku tetap dalam lajur yang sama. Aku masih ingin menikmati hari tanpa kamu. Aku masih ingin mencoba meringankan dan mengobati lukaku sendiri.
Tetapi, kenyataan pahit membuatku tidak fokus. Kau kembali menerbangkan harumnya bunga-bunga yang kemarin sempat layu dan hampir mati. Usahamu sungguh membuahkan hasil. Rinduku terhadapmu memuncak kuat, ingin meledak bila tak kuungkapkan padamu.
"Aku rindu...."
"Aku juga rindu...."
Kau membalasku dengan perasaan yang sama. Sampai aku tak punya alasan untuk menangis sebab dirimu. Bahagia ini seakan telah bersinar setelah sekian lama tak berpendar.
"Kau tak perlu khawatir. Rasaku masih sama padamu."
Dadaku menyempit, melonggar, menghela napas penuh kelegaan atas kabar baikmu.
Lalu, kau memberitahuku bahwa sedang berada dalam kesibukan yang amat padat. Sedikit menjawab sebagian dari pertanyaan, "Engkau ke mana?" Tetapi tetap saja aku masih punya banyak tanya soal wanita lain yang tengah kau puja diam-diam.
Tahukah kamu? Seberapa berat jiwa ketika menahan rasa sakit? Seberapa redup lampu ketika kehilangan energi? Pun sama, aku lemah ketika kau menguras tenaga ini hanya untuk menahan pertanyaan penuh banyak luka.
Kau sudah beberapa kali membuatku jatuh, terbang, lalu jatuh lagi. Masih adakah aku dalam hatimu? Lantas bolehkah aku bertanya soal rasa yang sebenarnya?
Entahlah, semua ini hanyalah sebatas cerita ambigu tak bermakna. Sebab aku tidak tahu harus apa selain menulis tentang rindu dan juga luka. Dan andai saja kau mengetahui. Tetapi sudah, ya sudahlah!
Kini aku mengerti, mengerti akan kebimbanganmu. Atas keegoisanmu.
"Perasaanku kelabu."
Hanya itu yang bisa kau simpulkan dari ribuan liter air mata yang sudah-sudah? Bahkan kau pun tidak tahu ke mana hatimu ingin berlabuh?
Dan lagi! Lagi! Sekali lagi kau menghancurkan sisa kepercayaanku! Pergilah! Jika kau ingin dia! Matilah! Aku tak lagi mau menghidupkannya lagi!
Mungkin, inilah hitam putih. Seperti kehidupan yang sedang berperiode ini. Setiap kejadian, peristiwa, semua bergilir sesuai alur cerita-Nya. Kesedihan, kebahagiaan, itu juga punya tujuan.
Ini adalah emosiku. Rasaku masih ada. Tetapi tidak akan kubiarkan berterbangan ke sana kemari. Aku ingin menyimpan ini. Entah untukmu, atau mungkin untuk cinta yang lain selanjutnya. Seperti yang kau bilang kala itu, "Bila kau memang sudah ada hati untuk yang lain, mengapa tidak?"
Dan juga aku menyadari, ini menguatkanku. Membuatku kebal kala suatu saat mungkin seseorang yang sama menyakitiku, maka aku sudah berpengalaman.
Sekali lagi, percayalah. Kau bukan tersangka, tetapi kau adalah pelantara supaya aku terbiasa. Terima kasih.
Biarlah ini menjadi kenangan yang kusimpan rapi dalam nostalgia cintaku, yang mungkin beberapa tahun kemudian akan menjadi kisah klasik yang pernah membuatku menangis sekaligus tertawa.
Selesai...
Komentar
Posting Komentar