PROSA | Hujan Februari | Asa Indara

Hujan Februari

     Mengenangmu itu seperti hari ini. Penuh deras air dari langit. Penuh badai. Pun langit ikut menderu gemuruh. Masih belum terasakah? Atau angin di sana hanya kehampaan yang nyata. Bicaralah ia tentang rindu. Ia bilang kau diam membisu. Apakah sekarang?
Jangan lagi.

     Kelabu itu pun masih saja membuat hati tergerus lebih mendalam. Aku tak peduli seberapa besar kau meminta maaf. Aku tak mau tahu seindah apa melodimu untuk merayuku. Yang kini aku mau adalah kembalinya ragamu seperti di masa lalu.

     Aku tak butuh syairmu. Aku tiada mampu merangkainya lagi bersamamu. Cukup katakan saja. Bagaimana cara kita selesaikan ini tanpa membuatku terikat oleh perasaan kelabu milikmu. Kau yang tak mau meninggalkannya dan kau pula tak ingin aku hilang. Aku ingin di sampingmu, bukan di antara kalian. Beri aku sedikit kejelasan. Ambigu tidak pernah menyelesaikan.

     Lantas, mengapa kini kau hilang? Ditelan rerimbunan denting waktu. Tenggelam bersama sisa air mata yang sudah-sudah.
Cukup! Cukup bayanganmu menjadi hantu di setiap doaku. Sudahi semua ini. Hengkanglah bila kau ingin hengkang. Tetapi, kau pun jangan membawa separuh rindu milikku. Jangan..

     Tidakkah kau tersadar? Bertahan di tengah derasanya hujan air mata, berdiri tegak diterjang ombak kepiluan masa kelam, bagaimana rasanya? Perasaan macam apa yang kau bilang sama tetapi berakhir kecewa? Kau sungguh kejam kukira. Buka mata itu. Biarkan aku melihatmu sebentar. Aku ingin tahu seberapa teganya kau saat kaki itu melangkah pergi tanpa permisi. Meninggalkan diri tanpa hati. Membuatku lama menunggu tanpa mau tahu bagaimana keadaanku.

     Tak mengapa bilamana dia adalah kata terakhirmu. Namun, bisakah kau jelaskan mengapa kau terlampau marah tatkala aku sudah menemukan tempat lain. Mengapa kau tak bisa mengutarakan sedikit saja tentang rasa cemburumu. Sungguh, kopi tetap saja pahit bukan?

     Adakah hal lain lagi selain rindu? Ada! Kepergianmu tanpa alasan sudah cukup menjawab mengapa kepiluan dalam dada tiada pernah mau berhenti. Hujan februari ini, setelah lama mengenang kau pergi. Mengingat saat-saat paling menyedihkan yang belum pernah kutemui. Lagi, membuatku sering kali tertegun tatkala terlintas namamu sepanjang hari. Masih menjadi pertanyaan yang begitu besar tentang kehilangan. Aku tak pernah sepercaya ini soal perasaan, dan nyatanya aku juga tak pernah sepedih ini melawan kenyataan. Jarak dan waktu, memang itulah satu di antara alasan lain yang kukira tepat. Dan sepanjang lautan yang membelah, aku benar ingin menemuimu suatu saat nanti. Aku ingin berterima kasih,

     Sebab kau yang telah mengenalkan aku dengan rasa. Dengan cinta yang tak pernah sudah. Dan dengan sebongkah rindu yang tiada habis hanya untuk mencari tahu keberadaanmu. Ke mana ruang rindu itu? Ke mana masa lalu itu? Kau yang segan menutup lembaran cerita sedang belum selesai kutulis. Kau yang enggan memberi keputusan tentang adanya sebuah pilihan.

     Lantas, dengan lantang jiwa kau bilang tak rela aku bersama orang lain selain kau. Bolehkah daku tertawa wahai pangeran? Aku, yang kau panggil adinda dan dia yang kini tengah bersama kau dalam perahu romansa penuh cinta.

     Sudilah bila aku hilang. Jangan cari. Kalau saja kau mau kembali, kembalilah. Tetapi, jangan dengan rasa kelabu di masa dulu.

 Lampung, 26 februari 2018