Dengan-Mu Aku Dengannya (Part.1)
Lampung, 2014
Hiruk pikuk aula masih kental menggema, akhir masa OSPEK akan tuntas hari ini juga. Mahasiswa senior berkumpul di barisan paling depan, memandu upacara penutupan.
"Hoi! Baris yang bener dong!" Salah satu panitia berkacak pinggang, kesal sebab peserta paling belakang tak mau diatur.
"Eh, busyet! Pengeng kuping gue nying!" Tidak heran kebanyakan sibuk bisik-bisik memaki, mengumpat tak tahan sambil mengacak telinga.
"Suara siapa itu!"
Deg. Aku ikut hening. Selain punya suara yang bergetar dia juga punya pendengaran amat tajam. Bahaya.
"Sampai ada yang bisik-bisik tetangga lagi...." Suaranya sedikit mengancam tanpa melanjutkan ucapannya.
Barisan seolah bergerak sendiri, tiba-tiba sudah rapi dan tidak ada pula yang mengobrol.
Kemudian, acara berjalan dengan lancar. Peserta maupun panitia bersorak kesenangan. Akhirnya selesai juga. Selesai jadi orang gila dadakan, selesai jadi pemulung seharian, dan selesai mendengar suara pak lampir yang selalu cerewet soal barisan.
Memang harus kuakui, dia adalah mantan seniorku dulu di SMK yang menjabat sebagai Ketua OSIS sekaligus Ketua Paskibraka. Dan sekarang, aku harus satu kampus dengan Si Mata Empat itu lagi? Astaga!
"Eh! Pada mau ke mana sih? Bukannya udah waktunya pulang? Kok ke ruangan itu lagi?" tanyaku beruntut sebelum ia pergi dan meninggalkan aku yang masih belum punya teman. Maksudku kenapa ke arah ruangan pemateri sedangkan sudah upacara penutupan.
"Ada yang mau promosi katanya." Dengan muka polos perempuan berjilbab marun itu menjawabku.
"Ooh.... Promosi apaan?"
"Nggak tau deh," sahutnya langsung pergi.
Kalau dipikir-pikir ngapain ke sana? Toh, ini kan udah waktunya pulang. Jadi, ya mending ke parkiran, ambil motor, dan balik.
Sampainya di rumah aku menghubungi teman lama, bercerita banyak tentang kampus baruku. "...ya lo bisa bayangin aja, Ga. Gue dibentak-bentak, disuruh-suruh, terus yaa...gitu deh! Kesel lama-lama."
"Hahaha. Makanya kerja aja sini sama yang lain!"
"Sialan lo. Gue masih pengen nyari ilmu. Biar pinter. Haha."
"Desi, Desi. Lo kira, kerja itu nggak pake ilmu?"
"Hehe... ya maksud gue nggak gitu. Ya ... lo ngerti, lah."
"Iya, iya. Oh, iya! Betewe lo ketemu doi gue kagak?"
"Hah?"
"Ish! Masa' lo nggak peka sih?!"
"Hahaha. Iya, iya. Peka gue mah. Hehe."
"Jadi?"
"Jadi apaan?"
"Jadi, lo kesambet nggak? Gue gorok juga lo lama-lama!"
Aku tertawa lebar. Senang rasanya mendengar dengusan Mega yang selalu ngancem 'gorok' . Hahaha.
"Desi! Gue serius!"
"Iya, Mega. Ketemu kok," jawabku masih menyisakan tawa.
"Emmh... dia masih inget gue nggak ya?" Aku yakin dia sekarang sedang membayangkan wajah Tedi dengan pipi kemerahan. Dasar mantan nggak tau diri! Kalau putus ya putus aja, jangan dibayangin, apalagi diarepin.
"Tapi tadi kayaknya-"
"Kayaknya apa?!"
"Sabar, sabar. Belum juga gue ngomong," ujarku agak kesal, membiarkan tubuhku merebah di sofa.
Tak lama ibu memanggil, aku buru-buru bangun sambil mematikan sambungan telepon dengan gegas.
"Rida mana?" tanya ibu sudah di depanku dengan tatapan kesal.
Mataku mengerjap, gugup. "Mungkin lagi main." Dengan susah payah aku menjawab. Takut kalau ibu malah marahnya ke aku bukan ke pelakunya. Dasar Rida!
"Ya Allah! Ya Tuhanku! Dia ini...."
"Kenapa, Bu?"
"Tuh, liat!"
Aku menoleh ke dapur. "Allahu akbar!" Untung aja nggak kebakaran.
"Kamu urus dapur! Ibu mau nyari Rida dulu." Tanpa babibu ibu melangkah keluar rumah. Perasaanku jadi tak enak.
Setelah membersihkan sisa-sisa bakwan yang gosong, aku menyahut kain pel di gudang. Awalnya mau aku selesaikan segera, tetapi keburu Rida datang bersama ibu yang mengekor di belakang. Akhirnya aku diam sebentar, menunggu seseorang di antara mereka bicara.
"Biar Rida aja yang beresin, Kak," ucap adikku dengan nada gemetar, mengambil kain pel dari tangan ini. Wajahnya kusut. Habis diapain dia sama ibu?
Dan andai ibu tidak melotot padaku, mungkin aku tidak akan membiarkannya ngepel sendiri. Bisa kau bayangkan keadaannya, wajan hitam pekat di atas kompor dengan minyak goreng yang hampir limit. Lantai kotor penuh tepung terigu. Bumbu dapur berserakan. Ditambah bakwan gosong yang hampir meledakkan gas karena kepanasan.
"Kalau dikasih amanah itu dilaksanain. Jangan dibiarin. Ibu ngasih tanggung jawab buat bakwan krispi, tapi malah kamu tinggal main hape sama Si Nia itu. Kalau kompornya meledak gimana?" Cerocos ibu tak berhenti, tangannya masih sibuk mengupas bawang bersamaku. "Besok jangan diulangin lagi!"
Nia adalah tetanggaku. Tetapi sekolahnya terpaksa putus sebab kenakalan remaja jaman sekarang. Yang alhasil membuatnya momong di saat umurnya masih sepantaran dengan adikku. 15 tahun. Aku sedikit ngeri, apalagi pernikahan itu kan cuman sekali. Harus dipikirkan lebih dan lebih. Nggak boleh sembrono. Tetapi, apa boleh buat? Ibarat nasi sudah jadi bubur. Daripada Si Keparat itu kabur, dan tidak mau tanggung jawab, nikahkan saja. Toh, itu resiko yang sudah dia perbuat.
"Bu, tadi ospeknya udah rampung." Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Kasihan juga melihat Rida dapat omelan.
"Terus, gimana?"
"Ya gitu deh, Bu. Ada yang nyebelin, ada juga yang nyenengin."
Rida mulai terlihat lega mendengar aku yang sudah berhasil membuat ibu tak naik pitam lagi padanya.
"Nyebelin gimana?"
"Ya biasalah, Bu. Seniornya banyak teriak, banyak oceh, dan parahnya nih ya, tadi...aku hampir kena semprot sama salah satu dari mereka. Ngeri, Bu!"
"Mereka siapa?"
"Ya seniornya, Bu."
"Terus basah nggak?"
"Basah apanya, Bu?" Aku berhenti memotong bawang, melihat ke ibu.
"Katanya tadi kena semprot," sahut ibu sambil mencuci beras di wastafel dapur.
"Hahaha. Bukan disemprot pakai air."
"Lho? Gimana sih? Katanya tadi kena semprot." Ibu mengelak.
"Bukan, Bu! Tapi kena hukuman gitu," sela Rida yang tiba-tiba sudah di sampingku.
"Udah selesai?" tanyaku heran, melihat ke lantai. Benar, sudah kinclong.
Rida tersenyum seolah memberitahu bahwa ia sudah tidak apa-apa. Maksudku dia tidak lagi merasa kesal sebab marahnya ibu.
Malamnya, kami mengadakan dinner kecil-kecilan. Sekadar ingin mencurahkan rasa rindu untuk bapak yang sudah 3 tahun meninggalkan hidup ini. Sedih rasanya. Di mana seharusnya ia melihat aku dan Rida yang semakin dewasa, semakin mempunyai skill untuk melanjutkan cita-cita. Namun, nyatanya Tuhan punya rencana lain.
"Coba aja tadi bakwannya nggak gosong, pasti enak makannya." Aku tak menyangka Rida yang bicara begitu. Bukankah itu malah akan membuat ingatan ibu akan dapur tadi kembali?
"Makanya jangan main mulu!" Kali ini aku mulai beraksi jail. Berharap ibu bakal ngomel ke dia lagi.
"Sst...mau makan apa mau ngeluh? Yang udah terjadi ya udah. Nggak usah diungkit lagi." Lho? Ibu tidak marah rupanya?
Gagal deh, buat jail ke Rida.
"Nggak akan kembali 'kan? Udah makan aja apa yang ada," lanjut ibu menyuapkan nasih ke mulut.
Rida menjulurkan lidah ke arahku. Sial! Aku tidak berhasil membuatnya terpojokkan, malah aku yang kena nasihat.
"Udah kenyang, Bu." Aku berdiri, meninggalkan meja makan dengan kekesalan.
"Huuuuu payah!!" sungut Rida dengan senyum kemenangan.
"Hhh...." Aku hanya bisa mendengus malas sambil berjalan ke arah kamar.
Pukul 02.37 WIB
Ting! Pesan masuk di jam tengah malam. Siapa pula ini? Tanganku menggerayai kasur, mencari ponsel.
'Tahajud!'
Dahiku melipat serius, nomor asing ini lagi. Padahal sudah kucoba untuk menyuruhnya berhenti menggangguku tiap malam. Tetapi bagai batu yang sulit sekali diberi penjelasan.
Aku tak acuh, tidur lagi. Dan sekali lagi pesannya datang dengan isi yang sama pula.
'Tahajud'
Hhhhrggg!! Ini siapa sih?! Tengah malam begini kok malah ngajak sms-an. Batinku memekik.
Kemudian dengan marah yang sangat aku membalas pesan darinya.
'Jangan ganggu gue!'
Hanya itu. Lalu aku silent ponselnya dan kembali berbaring. Semoga dia peka dan tidak mengusikku lagi.
Namun, nyatanya ponselku berhianat. Bahkan suara ini lebih kencang dari sebelumnya. Nyaring sampai mendengung ke telinga. Aku terperanjat kaget, menyahut kasar hp di atas nakas.
Rupanya Si Misterius ini menelepon berulang-ulang. Hhhh. Ada apa sih! Dan dia ini siapa?
Belum sempat aku menekan tombol off supaya ponsel ini mati, ada pesan masuk. Isinya pun masih sama, yaitu 'tahajud' .
☆☆☆
Burung berkicau gemuruh, mencari makan, bermain-main dengan alam. Pagi ini sangat cerah. Bahkan aku hampir tidak bisa membedakan antara jam pagi dengan jam siang, yang kutahu hari ini kudu menyelesaikan tugas dari si Dosen minggu lalu.
"Heran. Kenapa baru masuk udah dikasih banyak tugas. Tanganku kan cuman dua. Mana ini tugasnya ruwet banget!" gumamku siap-siap berangkat ke kampus.
"Kalau nggak mau ribet nggak usah kuliah, Kak. Sekolah aja lagi kayak aku."
Aku menoleh, "Ih! Apaan sih dek! Sana pergi! Ikut campur aja."
"Kerjaannya kok ngeluh. Heran!"
"Ngomong lagi?!" sergahku mengangkat bantal, bersiap melemparnya kalau Rida ngomong lagi.
Sayang, ia lebih dulu kabur bersama tawa yang terpingkal-pingkal. Menyebalkan!
"Desi!"
Kepalaku berputar, mencari sumber suara. "Hei! Sini, Cak!"
"Gimana?" tanya Cacak yang sudah berjalan bersamaku.
"Gimana apanya?" Aku masih sibuk dengan ponselku.
"Tugasnya, lah!"
"Ooh...udah kok. Semalem."
"Udah semuanya?" tanyanya sekali lagi, masih tak percaya atas jawabanku.
"Sebagian," sahutku nyengir, mengalihkan pandangan ke arahnya.
"Cubluk!"
"Selow! Semua bakalan beres kok!" sergahku sebelum Cacak kembali ngomel.
"Beres apanya? Beres kalau kita dikeluarin dari jam pelajarannya. Kan?"
"Tenang .... semuanya udah gue atur kok. Kelompok kita bakal dapet nilai paling gede di kelas."
"Besok dikumpul segera, Des. Lo jangan malesan. Ngaret mulu gue pletak!"
"Iya, iya."
"Iya mulu. Giliran soal Ibrahim aja, lo klepek-klepek pengen ndeketin. Kalau soal tugas malah ngelantur. Dasar!"
"Eh, jaga ya lo!" Aku buru-buru menutup mulutnya sebelum ada yang mendengar ini dan menjadi gosip kampus of the year. Bisa mampus gue!
"Hmmmphh...lephaaash!!"
"Makanya jangan ember!"
"Apa yang ember?" Entah datang dari mana Lira udah ngegantung dipundakku.
Aku hampir terlonjak, kaget.
"Hehe."
"Dari mana?" tanyaku padanya sambil duduk dibangku.
"Dari kelas Ibrahim."
"Hah?!" Tidak tahu kenapa aku sedikit tak percaya.
"Oh, ya. Ini ada surat dari dia," ucap Lira melempar amplop ke arahku.
"Surat?" Aku menengok ke segala arah, memastika bahwa tak ada orang lagi selain Cacak dan Lira.
"Iya. Entah itu, gue nggak tau apa isinya."
"Ra, lo ini sebenernya siapanya Ibrahim, sih? Kok setiap hari ke kelasnya terus? Pembokatnya ya lo?" sela Cacak mendekatkan kursinya ke bangkuku.
"Enak aja! Gue adiknya, Cubluk!" ujar Lira sedikit kesal.
"Hah?!" Kontan aku dan Cacak melotot.
"Makanya update! Tugas mulu yang lo urusin."
"Bentar, deh. Lo serius adeknya?" Aku masih keheranan.
"Iyalah. Lo sering disms 'tahajud' sama dia 'kan?"
BUM! Kami kenal baru 1 bulan. Belum lama sekali. Tetapi rasanya dia lebih mengenalku ketimbang yang lain. Tahu dari mana soal sms itu?
"Nggak usah dijawab. Gue udah tau."
"Emm...kok lo?"
"Itu dari Bang Ibrahim."
"Apa?!"
"Plis deh. Jangan kagetan."
"Yakin?" Kali ini aku yang memastikan. Maksudnya apakah dia serius atau sekadar bercanda.
"Iya!"
Demi apapun! Jadi, selama ini, setiap tengah malam, setiap disepertiga malam, itu Ibrahim? Astaga!
"Tapi tunggu!" Cacak mencoba mengelak. "Bukannya Ibrahim itu orangnya kalem? Kenapa berani sms cewek?"
"Nggak tau juga sih."
Selang beberapa menit, Dosen datang. Berakhirlah obrolan kami digantikan materi pembelajaran yang berlangsung cukup lama.
Bersambung....
Lampung, 2014
Hiruk pikuk aula masih kental menggema, akhir masa OSPEK akan tuntas hari ini juga. Mahasiswa senior berkumpul di barisan paling depan, memandu upacara penutupan.
"Hoi! Baris yang bener dong!" Salah satu panitia berkacak pinggang, kesal sebab peserta paling belakang tak mau diatur.
"Eh, busyet! Pengeng kuping gue nying!" Tidak heran kebanyakan sibuk bisik-bisik memaki, mengumpat tak tahan sambil mengacak telinga.
"Suara siapa itu!"
Deg. Aku ikut hening. Selain punya suara yang bergetar dia juga punya pendengaran amat tajam. Bahaya.
"Sampai ada yang bisik-bisik tetangga lagi...." Suaranya sedikit mengancam tanpa melanjutkan ucapannya.
Barisan seolah bergerak sendiri, tiba-tiba sudah rapi dan tidak ada pula yang mengobrol.
Kemudian, acara berjalan dengan lancar. Peserta maupun panitia bersorak kesenangan. Akhirnya selesai juga. Selesai jadi orang gila dadakan, selesai jadi pemulung seharian, dan selesai mendengar suara pak lampir yang selalu cerewet soal barisan.
Memang harus kuakui, dia adalah mantan seniorku dulu di SMK yang menjabat sebagai Ketua OSIS sekaligus Ketua Paskibraka. Dan sekarang, aku harus satu kampus dengan Si Mata Empat itu lagi? Astaga!
"Eh! Pada mau ke mana sih? Bukannya udah waktunya pulang? Kok ke ruangan itu lagi?" tanyaku beruntut sebelum ia pergi dan meninggalkan aku yang masih belum punya teman. Maksudku kenapa ke arah ruangan pemateri sedangkan sudah upacara penutupan.
"Ada yang mau promosi katanya." Dengan muka polos perempuan berjilbab marun itu menjawabku.
"Ooh.... Promosi apaan?"
"Nggak tau deh," sahutnya langsung pergi.
Kalau dipikir-pikir ngapain ke sana? Toh, ini kan udah waktunya pulang. Jadi, ya mending ke parkiran, ambil motor, dan balik.
☆
"Hahaha. Makanya kerja aja sini sama yang lain!"
"Sialan lo. Gue masih pengen nyari ilmu. Biar pinter. Haha."
"Desi, Desi. Lo kira, kerja itu nggak pake ilmu?"
"Hehe... ya maksud gue nggak gitu. Ya ... lo ngerti, lah."
"Iya, iya. Oh, iya! Betewe lo ketemu doi gue kagak?"
"Hah?"
"Ish! Masa' lo nggak peka sih?!"
"Hahaha. Iya, iya. Peka gue mah. Hehe."
"Jadi?"
"Jadi apaan?"
"Jadi, lo kesambet nggak? Gue gorok juga lo lama-lama!"
Aku tertawa lebar. Senang rasanya mendengar dengusan Mega yang selalu ngancem 'gorok' . Hahaha.
"Desi! Gue serius!"
"Iya, Mega. Ketemu kok," jawabku masih menyisakan tawa.
"Emmh... dia masih inget gue nggak ya?" Aku yakin dia sekarang sedang membayangkan wajah Tedi dengan pipi kemerahan. Dasar mantan nggak tau diri! Kalau putus ya putus aja, jangan dibayangin, apalagi diarepin.
"Tapi tadi kayaknya-"
"Kayaknya apa?!"
"Sabar, sabar. Belum juga gue ngomong," ujarku agak kesal, membiarkan tubuhku merebah di sofa.
Tak lama ibu memanggil, aku buru-buru bangun sambil mematikan sambungan telepon dengan gegas.
"Rida mana?" tanya ibu sudah di depanku dengan tatapan kesal.
Mataku mengerjap, gugup. "Mungkin lagi main." Dengan susah payah aku menjawab. Takut kalau ibu malah marahnya ke aku bukan ke pelakunya. Dasar Rida!
"Ya Allah! Ya Tuhanku! Dia ini...."
"Kenapa, Bu?"
"Tuh, liat!"
Aku menoleh ke dapur. "Allahu akbar!" Untung aja nggak kebakaran.
"Kamu urus dapur! Ibu mau nyari Rida dulu." Tanpa babibu ibu melangkah keluar rumah. Perasaanku jadi tak enak.
Setelah membersihkan sisa-sisa bakwan yang gosong, aku menyahut kain pel di gudang. Awalnya mau aku selesaikan segera, tetapi keburu Rida datang bersama ibu yang mengekor di belakang. Akhirnya aku diam sebentar, menunggu seseorang di antara mereka bicara.
"Biar Rida aja yang beresin, Kak," ucap adikku dengan nada gemetar, mengambil kain pel dari tangan ini. Wajahnya kusut. Habis diapain dia sama ibu?
Dan andai ibu tidak melotot padaku, mungkin aku tidak akan membiarkannya ngepel sendiri. Bisa kau bayangkan keadaannya, wajan hitam pekat di atas kompor dengan minyak goreng yang hampir limit. Lantai kotor penuh tepung terigu. Bumbu dapur berserakan. Ditambah bakwan gosong yang hampir meledakkan gas karena kepanasan.
"Kalau dikasih amanah itu dilaksanain. Jangan dibiarin. Ibu ngasih tanggung jawab buat bakwan krispi, tapi malah kamu tinggal main hape sama Si Nia itu. Kalau kompornya meledak gimana?" Cerocos ibu tak berhenti, tangannya masih sibuk mengupas bawang bersamaku. "Besok jangan diulangin lagi!"
Nia adalah tetanggaku. Tetapi sekolahnya terpaksa putus sebab kenakalan remaja jaman sekarang. Yang alhasil membuatnya momong di saat umurnya masih sepantaran dengan adikku. 15 tahun. Aku sedikit ngeri, apalagi pernikahan itu kan cuman sekali. Harus dipikirkan lebih dan lebih. Nggak boleh sembrono. Tetapi, apa boleh buat? Ibarat nasi sudah jadi bubur. Daripada Si Keparat itu kabur, dan tidak mau tanggung jawab, nikahkan saja. Toh, itu resiko yang sudah dia perbuat.
"Bu, tadi ospeknya udah rampung." Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Kasihan juga melihat Rida dapat omelan.
"Terus, gimana?"
"Ya gitu deh, Bu. Ada yang nyebelin, ada juga yang nyenengin."
Rida mulai terlihat lega mendengar aku yang sudah berhasil membuat ibu tak naik pitam lagi padanya.
"Nyebelin gimana?"
"Ya biasalah, Bu. Seniornya banyak teriak, banyak oceh, dan parahnya nih ya, tadi...aku hampir kena semprot sama salah satu dari mereka. Ngeri, Bu!"
"Mereka siapa?"
"Ya seniornya, Bu."
"Terus basah nggak?"
"Basah apanya, Bu?" Aku berhenti memotong bawang, melihat ke ibu.
"Katanya tadi kena semprot," sahut ibu sambil mencuci beras di wastafel dapur.
"Hahaha. Bukan disemprot pakai air."
"Lho? Gimana sih? Katanya tadi kena semprot." Ibu mengelak.
"Bukan, Bu! Tapi kena hukuman gitu," sela Rida yang tiba-tiba sudah di sampingku.
"Udah selesai?" tanyaku heran, melihat ke lantai. Benar, sudah kinclong.
Rida tersenyum seolah memberitahu bahwa ia sudah tidak apa-apa. Maksudku dia tidak lagi merasa kesal sebab marahnya ibu.
☆
Malamnya, kami mengadakan dinner kecil-kecilan. Sekadar ingin mencurahkan rasa rindu untuk bapak yang sudah 3 tahun meninggalkan hidup ini. Sedih rasanya. Di mana seharusnya ia melihat aku dan Rida yang semakin dewasa, semakin mempunyai skill untuk melanjutkan cita-cita. Namun, nyatanya Tuhan punya rencana lain.
"Coba aja tadi bakwannya nggak gosong, pasti enak makannya." Aku tak menyangka Rida yang bicara begitu. Bukankah itu malah akan membuat ingatan ibu akan dapur tadi kembali?
"Makanya jangan main mulu!" Kali ini aku mulai beraksi jail. Berharap ibu bakal ngomel ke dia lagi.
"Sst...mau makan apa mau ngeluh? Yang udah terjadi ya udah. Nggak usah diungkit lagi." Lho? Ibu tidak marah rupanya?
Gagal deh, buat jail ke Rida.
"Nggak akan kembali 'kan? Udah makan aja apa yang ada," lanjut ibu menyuapkan nasih ke mulut.
Rida menjulurkan lidah ke arahku. Sial! Aku tidak berhasil membuatnya terpojokkan, malah aku yang kena nasihat.
"Udah kenyang, Bu." Aku berdiri, meninggalkan meja makan dengan kekesalan.
"Huuuuu payah!!" sungut Rida dengan senyum kemenangan.
"Hhh...." Aku hanya bisa mendengus malas sambil berjalan ke arah kamar.
☆☆☆
Pukul 02.37 WIB
Ting! Pesan masuk di jam tengah malam. Siapa pula ini? Tanganku menggerayai kasur, mencari ponsel.
'Tahajud!'
Dahiku melipat serius, nomor asing ini lagi. Padahal sudah kucoba untuk menyuruhnya berhenti menggangguku tiap malam. Tetapi bagai batu yang sulit sekali diberi penjelasan.
Aku tak acuh, tidur lagi. Dan sekali lagi pesannya datang dengan isi yang sama pula.
'Tahajud'
Hhhhrggg!! Ini siapa sih?! Tengah malam begini kok malah ngajak sms-an. Batinku memekik.
Kemudian dengan marah yang sangat aku membalas pesan darinya.
'Jangan ganggu gue!'
Hanya itu. Lalu aku silent ponselnya dan kembali berbaring. Semoga dia peka dan tidak mengusikku lagi.
Namun, nyatanya ponselku berhianat. Bahkan suara ini lebih kencang dari sebelumnya. Nyaring sampai mendengung ke telinga. Aku terperanjat kaget, menyahut kasar hp di atas nakas.
Rupanya Si Misterius ini menelepon berulang-ulang. Hhhh. Ada apa sih! Dan dia ini siapa?
Belum sempat aku menekan tombol off supaya ponsel ini mati, ada pesan masuk. Isinya pun masih sama, yaitu 'tahajud' .
☆☆☆
Burung berkicau gemuruh, mencari makan, bermain-main dengan alam. Pagi ini sangat cerah. Bahkan aku hampir tidak bisa membedakan antara jam pagi dengan jam siang, yang kutahu hari ini kudu menyelesaikan tugas dari si Dosen minggu lalu.
"Heran. Kenapa baru masuk udah dikasih banyak tugas. Tanganku kan cuman dua. Mana ini tugasnya ruwet banget!" gumamku siap-siap berangkat ke kampus.
"Kalau nggak mau ribet nggak usah kuliah, Kak. Sekolah aja lagi kayak aku."
Aku menoleh, "Ih! Apaan sih dek! Sana pergi! Ikut campur aja."
"Kerjaannya kok ngeluh. Heran!"
"Ngomong lagi?!" sergahku mengangkat bantal, bersiap melemparnya kalau Rida ngomong lagi.
Sayang, ia lebih dulu kabur bersama tawa yang terpingkal-pingkal. Menyebalkan!
☆☆☆
Kepalaku berputar, mencari sumber suara. "Hei! Sini, Cak!"
"Gimana?" tanya Cacak yang sudah berjalan bersamaku.
"Gimana apanya?" Aku masih sibuk dengan ponselku.
"Tugasnya, lah!"
"Ooh...udah kok. Semalem."
"Udah semuanya?" tanyanya sekali lagi, masih tak percaya atas jawabanku.
"Sebagian," sahutku nyengir, mengalihkan pandangan ke arahnya.
"Cubluk!"
"Selow! Semua bakalan beres kok!" sergahku sebelum Cacak kembali ngomel.
"Beres apanya? Beres kalau kita dikeluarin dari jam pelajarannya. Kan?"
"Tenang .... semuanya udah gue atur kok. Kelompok kita bakal dapet nilai paling gede di kelas."
"Besok dikumpul segera, Des. Lo jangan malesan. Ngaret mulu gue pletak!"
"Iya, iya."
"Iya mulu. Giliran soal Ibrahim aja, lo klepek-klepek pengen ndeketin. Kalau soal tugas malah ngelantur. Dasar!"
"Eh, jaga ya lo!" Aku buru-buru menutup mulutnya sebelum ada yang mendengar ini dan menjadi gosip kampus of the year. Bisa mampus gue!
"Hmmmphh...lephaaash!!"
"Makanya jangan ember!"
"Apa yang ember?" Entah datang dari mana Lira udah ngegantung dipundakku.
Aku hampir terlonjak, kaget.
"Hehe."
"Dari mana?" tanyaku padanya sambil duduk dibangku.
"Dari kelas Ibrahim."
"Hah?!" Tidak tahu kenapa aku sedikit tak percaya.
"Oh, ya. Ini ada surat dari dia," ucap Lira melempar amplop ke arahku.
"Surat?" Aku menengok ke segala arah, memastika bahwa tak ada orang lagi selain Cacak dan Lira.
"Iya. Entah itu, gue nggak tau apa isinya."
"Ra, lo ini sebenernya siapanya Ibrahim, sih? Kok setiap hari ke kelasnya terus? Pembokatnya ya lo?" sela Cacak mendekatkan kursinya ke bangkuku.
"Enak aja! Gue adiknya, Cubluk!" ujar Lira sedikit kesal.
"Hah?!" Kontan aku dan Cacak melotot.
"Makanya update! Tugas mulu yang lo urusin."
"Bentar, deh. Lo serius adeknya?" Aku masih keheranan.
"Iyalah. Lo sering disms 'tahajud' sama dia 'kan?"
BUM! Kami kenal baru 1 bulan. Belum lama sekali. Tetapi rasanya dia lebih mengenalku ketimbang yang lain. Tahu dari mana soal sms itu?
"Nggak usah dijawab. Gue udah tau."
"Emm...kok lo?"
"Itu dari Bang Ibrahim."
"Apa?!"
"Plis deh. Jangan kagetan."
"Yakin?" Kali ini aku yang memastikan. Maksudnya apakah dia serius atau sekadar bercanda.
"Iya!"
Demi apapun! Jadi, selama ini, setiap tengah malam, setiap disepertiga malam, itu Ibrahim? Astaga!
"Tapi tunggu!" Cacak mencoba mengelak. "Bukannya Ibrahim itu orangnya kalem? Kenapa berani sms cewek?"
"Nggak tau juga sih."
Selang beberapa menit, Dosen datang. Berakhirlah obrolan kami digantikan materi pembelajaran yang berlangsung cukup lama.
Bersambung....
Mantap! cerita ini bagus!
BalasHapusLanjutkan ya, ditunggu loh
Wiidiiihh... terima kasih kak ^-^
Hapus