SETELAH BERKALI-KALI PATAH
"Kamu ini bisa dibilangin apa enggak, hah?! Kalau waktunya belajar ya belajar, bukan malah main hape aja kerjaannya! Kamu ini bapak sekolahin biar jadi pinter. Jadi jenius kayak mbakmu, masmu. Kamu nggak mau jadi pinter?!"
"Ta-tapi jangan hapenya, Pak. Aku ada lomba karya cipta puisi online. Dan deadline-nya nanti mala...m-"
"Lomba-lomba apa kamu?! Tugas kamu itu cuma serius belajar! Nggak usah ikut yang aneh-aneh!"
Gadis berseragam SMK itu menangis, memohon pada lelaki tua di hadapannya sambil bersimpuh.
"Udah to, Pak. Kasihin aja hapenya," celetuk ibu, keluar dari bilik tengah bersama segelas kopi untuk suaminya.
"Ck. Biar kapok ini anak! Dikasih hati malah minta yang lain. Dikira bayar sekolah itu kayak nyobek kertas?" Bapak beralih duduk di kursi lincak, melempar buku rapot ke lantai, lalu meraih kopi di atas meja. "Ssffrrtt.... Yang namanya sekolah itu bukan mainan."
"Ya mungkin Lila cuman kurang belajar aja, Pak," sahut ibu menarik anak bungsunya bangun. Tidak tega mendengar sesegukan anaknya meski usianya sudah cukup dewasa.
"Apa yang kurang belajar?! Udah jelas cuman mainan hape. Dia itu emang nggak niat belajar. Keluarin aja dari sekolah, terus pondokin aja di Jepara. Biar tau sekalian soal agama!"
"Jangaan, Paak!" sergah Lila terduduk pasrah, air matanya meluap-luap tanda penyesalan.
"Pak?" Ibu menatap tajam bapak, seolah menyuruh jangan berlebihan terhadap putri bungsunya ini.
"Pokoknya kalau sampai ujian nasional nanti kamu nggak bisa dapet juara, sampai kapanpun hape ini nggak akan bapak kasih!" Bapak masih meletup-letup.
"Assalamu'alaikum."
Tiba-tiba seseorang masuk di tengah hawa panas ini, menyalami bapak dan ibu. Di pundaknya tergantung ransel hitam. Rupanya Mas Indra.
"Wa'alaikumussalam...," sahut semuanya termasuk Mbak Dinda, kakak pertama Lila yang sedari tadi ikut mendengar perseteruan ini.
"Contoh mamasmu ini. Nggak banyak minta tapi hasilnya keliatan," ucap bapak memuji sekaligus menyindir.
Lila diam tak berkutik. Memang benar apa kata lelaki berkumis itu, ia memang harus seperti mamasnya yang selalu bisa diandalkan. Tetapi dibalik itu semua ia merintih, menolak perbandingan ini. Ia bisa dengan cara yang lain. Dengan caranya sendiri supaya keluarganya pun ikut bangga terhadapnya.
"Ini pak ada surat dari kampus." Indra sedikit gemetar menyerahkan amplop ke bapak.
"Surat apa?"
"Baca aja, Pak."
Nasib terima nasib. Si bungsu itu seolah terikat jeruji panas yang semakin lama membuatnya terbakar dan mengabu. Hanya bisa menyimak pembicaraan mereka dengan perasaan hancur. Alangkah pedihnya tatkala merasakan jatuh sedang orang lain tengah bersuka cita.
Kakak kedua dari 5 bersaudara itu memang terkenal jenius. Tak ayal bila sekarang dikabarkan akan berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan kuliah jalur beasiswanya. Lantas bapak kegirangan memeluknya erat. Melupakan isi rapot Lila yang hampir jeblok di bawah rata-rata.
Ibu pun turut bergumam rasa syukur. Akhirnya salah satu dari anaknya bisa berhasil mengejar cita-cita.
Dan ini adalah hari terbelah dua, kesedihan untuknya dan juga kesenangan untuknya. Suka cita melihat Mas Indra sukses sekaligus duka cita menerima kenyataan bahwa ponselnya terpaksa disita bapak untuk sementara waktu.
*
Semenjak siang itu, Lila hanya bisa berdiam diri di kamar, bingung ingin apa. Dan alhasil membuka buku pelajaran dengan keterpaksaan. Malam paling menyebalkan baginya. Tetapi apa boleh buat? Ini juga kesalahannya. Kenapa juga harus teledor hingga nilainya mencapai rekor terburuk yang pernah ada sedangkan semua saudaranya adalah pemilik otak cerdas. Jelas bagi bapak adalah penderitaan jelek sebab kepintaran baginya sangatlah penting.
"Hhh...sial!" umpat gadis itu mengacak-acak meja belajar tak karuan. Pikirannya tengah amburadul sekarang. Ini bencana.
Bagaimana dengan lombanya? Lomba yang sudah sekian lama ia nanti-nantikan. Ya meskipun hadiah tidak cukup banyak, tetapi itu adalah mimpi terbesarnya selama ini. Dan jam 12 nanti sudah batas waktu. Selebihnya, ia gagal dengan kecewa ribuan kali, dengan penyesalan melebihi kemarahan bapaknya yang selalu memaksanya pintar. Dengan wajah berkerut pasrah, menangis lagi, ia merintih tak tertahan.
"Dunia emang nggak adil! Ini nggak ada untung-untungnya! Kenapa pas udah punya hape malah kena sita? Kenapa?! Aku ini salah apa ya Allah!"
Terus menyalahkan takdir dengan emosi yang meluap-luap.
"Semuanya emang nggak ada untungnya! Nggak ada yang mau berpihak! Nggak ada yang mau dengerin! Hhhhhrhggggh!!!"
Tangannya mengenggam pisau karter, siap membelah nadi dalam hitungan detik ketika ia sudah siap. Pintu kamar juga telah rapat terkunci, bapak dan ibu ke rumah bibi sejak maghrib, sedangkan di rumah hanya ada mbak Dinda yang tengah mengurus bayinya di kamar, rumah ini lumayan sepi. Terbesit dalam batin, sekarang atau tidak sama sekali!
"Lila!"
Deg!
Ia terdiam sejenak, menangkap suara yang memanggilnya barusan.
"Lila, ambilin dot di meja dapur! Mbak lagi nggantiin adeknya. Cepet!"
Kontan ia melempar pisau kecil dari genggamannya sebelum mbak Dinda berteriak lebih kencang lagi. Sebab ia sadar bahwa kakaknya satu ini punya sikap panas dan mudah sekali marah. Lebih mematikan dari suara bapak yang jatuhnya menampakkan ketegasan, bukan kemarahan.
**
Paginya, Lila masih bernapas. Rencana bunuh diri semalam gagal total karena Mbak Dinda. Ia berangkat ke sekolah seperti biasa, memakai baju pramuka di hari sabtu, tidak sarapan, melaju dengan sepeda motor dengan kecepatan penuh. Benar saja, ia masih memikirkan perkataan bapak, kalau tidak memperbaiki nilai rapot, hape Lila selamanya akan ada ditangan. Dan otomatis ini mimpi buruk. Ia tidak bisa lagi berkarya, tak bisa lagi membaca banyak materi tentang menulis, dan parahnya setiap perlombaan yang sempat ia rencanakan dibatalkan. Dan mimpinya seketika hancur, hatinya patah, impiannya kabur dibawa emosi bapak.
"Hoi!"
"Hah?" Lila celingukan, sedikit terkejut akan kedatangan orang di bangkunya.
"Ngapain bengong? Kesambet lho ntar!"
"Enggak, Rin. Aku nggak apa-apa kok," jawab Lila tersenyum masam, ingin menutupi masalahnya.
"Soal nilai rapot kemaren, ya?" Rini duduk di samping kiri Lila.
Ia mengangguk lesuh, mengiyakan.
"Udah aku duga! Terus bapakmu gimana? Marah-marah lagi, ya? Aku denger suaranya kemaren pas mau nganterin undangan tapi nggak jadi. Soalnya aku liat kamu di dalem lagi debat. Jadinya aku takut."
"Undangan apa?" Lila menoleh, menatap Rini dengan seksama.
"Undangan lombalah. Katanya kamu mau ikut lomba cerpen yang di mading waktu bagi rapot itu. Jadi, aku nekad dateng ke pengurus madingnya buat minta brosur. Eh..kamu malah lagi ada masalah."
"Bentar deh, Rin. Brosurnya mana sekarang?" Seketika Lila mulai fokus dengan pembicaraan Rini.
"Ada sama Indah. Dia yang bawa. Hehe."
Greek!
Lila mendorong kursi ke belakang, berdiri, ingin mencari Indah secepatnya.
"Eh! Mau ke mana?" sergah Rini menarik lengan Lila untuk kembali duduk.
"Nyari Indah, lah!"
"Dia hari ini sakit. Tuh, suratnya juga udah di meja guru 'kan?"
Lila melepas ikatan lengannya, meraih kertas terlipat di atas meja guru. "Nanti kita jenguk, yuk!"
"Hhh..modus niatmu mah!" Rini mendengus kesal.
"Hehe. Abisnya girang."
Wajar saja. Bagai pelangi setelah hujan. Untuk apa terus bersedih bila bahagia bisa kita temukan?
"Perasaan tadi lesuh banget, deh. Kok tiba-tiba berubah? Aneh."
"Kapan-kapan aku ceritain deh!" ujar Lila kembali duduk di bangkunya.
"Huh! Kamu mah cuman omong doang. Mau cerita tapi ujung-ujungnya rahasia juga. Kesel!"
"Hehe."
"Aku ini siapamu? Sahabat kok tertutup. Nggak seru!"
"Nggak semuanya harus diceritain 'kan?" sahut Lila menyeringai puas.
"Ya..ya.. iya juga sih. Tapi, tapi kan-"
"Sekalipun sahabat, yang namanya manusia juga banyak ingkarnya."
"Nyerah aja deh. Kalau ngomong sama penulis emang harus ngalah," ungkap Rini menghela napas gusar.
"Iya dong! Haha." Lila tertawa, membanggakan diri di depan sahabatnya sambil bergurau.
*****
"Jadi, sekarang mau nge-warnet di mana lagi? Kita udah muter-muter lho ini!" Indah duduk pasrah di sepeda motornya, menunggu keputusan Lila.
"Viko-net gimana? Kayaknya masih buka kalau jam sore gini," celetuk Rini antusias.
Mereka terus berunding, mencari tujuan warnet selanjutnya. Karena hape Lila tidak ada, jadi ini adalah suatu keputusan terbaik, yaitu ke warnet dengan modal flashdisk yang sekiranya dapat membantu dalam penulisan karya perlombaan.
Lantas Indah mengangguk setuju, namun Lila tidak; ia menghela napas lelah sambil menunduk lesu.
"Mending kita pulang aja deh! Kalau sampai jam 5 belum sampai rumah, bisa gawat. Lombanya abaikan aja. Toh! Orang tuaku juga nggak peduli 'kan?" Entah setan dari mana, semangat yang kemarin membara tiba-tiba memudar. Ia menyalakan mesin motor, melaju sendiri ke arah jalan pulang.
Indah dan Rini sedikit tertegun, saling pandang. Kemudian ikut mengejarnya pulang.
*
"Lila! Lil! Lila!" Panggilan kedua temannya tak tersahut. Lila memparkirkan motor dan masuk rumah tanpa menghampiri Indah dan Rini yang terus memanggil namanya di sana.
"Dia lagi butuh sendiri. Udah! Mending kita pulang aja. Aku takut sama bapaknya, kalau nanti dia marah ke kita dan nggak boleh main lagi gimana?" Indah menepuk-nepuk pundak Rini, supaya segera menyalakan motor dan pergi dari pelataran rumah Lila.
Rini tak bergeming, menatap sendu pintu reot di depannya dengan harapan bahwa Lila kembali. "Kita tunggu aja, Ndah." Tangganya masih memegang kunci kontak motor.
"Ck! Tapi kalau nanti-"
"Plis deh, Ndah! Jangan egois dulu. Kita itu sahabatnya 'kan? Harusnya selalu ada di sampingnya pas lagi genting kayak gini."
"Egois?" Kontan Indah mengernyit.
"Ssshh...jangan bikin aku naik pitam dulu lah!"
"Siapa yang naik pitam? Kamu?!"
"Hhhh...kok jadi-"
"Gini deh, Rin. Kita tau dia lagi ada masalah, tapi nggak semua masalah harus kita umbar ke semua orang. Sekalipun kita itu sahabat, kerabat, bahkan keluarganya. Jadi, dia itu cuman butuh ketenangan, biar berpikir gimana baiknya. Bukan malah kita recokin dengan banyak tanya. Nggak penting!"
Rini yang tadi mendengus kesal sedikit diam. Masih mengunyah perkataan Indah.
"Udah! Sekarang mending kita balik aja. Dah sore juga. Kita tunggu besok pas sekolah. Waktu lombanya juga masih lama 'kan? Cukup 3 hari buat dia mikir apakah masih mau lanjut atau stop di sini."
Ia mengangguk, setuju dengan pendapat Indah.
Lalu mereka berboncengan motor, menghilang dari pandangan Lila yang ternyata mengintip dari balik hordeng jendela. Raut wajah senang, sedih, cemas, bercampur jadi satu; masih mencerna pernyataan yang sempat mampir ditelinganya. Dan ia beruntung memiliki mereka, Indah dan Rini.
Baginya, sahabat bukan berarti kita harus tau tentang semua yang ada dalam hidupnya. Tetapi kita harus mencoba memahami tentang ada apa dalam hidupnya. Dan Lila melihat itu dari mereka. Masalahnya sedikit terkuras, sedikit membuatnya lega.
Mungkin ia bisa saja jatuh dalam impiannya, hayalannya, tetapi rasanya itu takkan terjadi dengan mudah bila seseorang yang begitu berharga masih ada di belakangnya.
"Makasih, Rin, Ndah."
**************************************
"Ta-tapi jangan hapenya, Pak. Aku ada lomba karya cipta puisi online. Dan deadline-nya nanti mala...m-"
"Lomba-lomba apa kamu?! Tugas kamu itu cuma serius belajar! Nggak usah ikut yang aneh-aneh!"
Gadis berseragam SMK itu menangis, memohon pada lelaki tua di hadapannya sambil bersimpuh.
"Udah to, Pak. Kasihin aja hapenya," celetuk ibu, keluar dari bilik tengah bersama segelas kopi untuk suaminya.
"Ck. Biar kapok ini anak! Dikasih hati malah minta yang lain. Dikira bayar sekolah itu kayak nyobek kertas?" Bapak beralih duduk di kursi lincak, melempar buku rapot ke lantai, lalu meraih kopi di atas meja. "Ssffrrtt.... Yang namanya sekolah itu bukan mainan."
"Ya mungkin Lila cuman kurang belajar aja, Pak," sahut ibu menarik anak bungsunya bangun. Tidak tega mendengar sesegukan anaknya meski usianya sudah cukup dewasa.
"Apa yang kurang belajar?! Udah jelas cuman mainan hape. Dia itu emang nggak niat belajar. Keluarin aja dari sekolah, terus pondokin aja di Jepara. Biar tau sekalian soal agama!"
"Jangaan, Paak!" sergah Lila terduduk pasrah, air matanya meluap-luap tanda penyesalan.
"Pak?" Ibu menatap tajam bapak, seolah menyuruh jangan berlebihan terhadap putri bungsunya ini.
"Pokoknya kalau sampai ujian nasional nanti kamu nggak bisa dapet juara, sampai kapanpun hape ini nggak akan bapak kasih!" Bapak masih meletup-letup.
"Assalamu'alaikum."
Tiba-tiba seseorang masuk di tengah hawa panas ini, menyalami bapak dan ibu. Di pundaknya tergantung ransel hitam. Rupanya Mas Indra.
"Wa'alaikumussalam...," sahut semuanya termasuk Mbak Dinda, kakak pertama Lila yang sedari tadi ikut mendengar perseteruan ini.
"Contoh mamasmu ini. Nggak banyak minta tapi hasilnya keliatan," ucap bapak memuji sekaligus menyindir.
Lila diam tak berkutik. Memang benar apa kata lelaki berkumis itu, ia memang harus seperti mamasnya yang selalu bisa diandalkan. Tetapi dibalik itu semua ia merintih, menolak perbandingan ini. Ia bisa dengan cara yang lain. Dengan caranya sendiri supaya keluarganya pun ikut bangga terhadapnya.
"Ini pak ada surat dari kampus." Indra sedikit gemetar menyerahkan amplop ke bapak.
"Surat apa?"
"Baca aja, Pak."
Nasib terima nasib. Si bungsu itu seolah terikat jeruji panas yang semakin lama membuatnya terbakar dan mengabu. Hanya bisa menyimak pembicaraan mereka dengan perasaan hancur. Alangkah pedihnya tatkala merasakan jatuh sedang orang lain tengah bersuka cita.
Kakak kedua dari 5 bersaudara itu memang terkenal jenius. Tak ayal bila sekarang dikabarkan akan berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan kuliah jalur beasiswanya. Lantas bapak kegirangan memeluknya erat. Melupakan isi rapot Lila yang hampir jeblok di bawah rata-rata.
Ibu pun turut bergumam rasa syukur. Akhirnya salah satu dari anaknya bisa berhasil mengejar cita-cita.
Dan ini adalah hari terbelah dua, kesedihan untuknya dan juga kesenangan untuknya. Suka cita melihat Mas Indra sukses sekaligus duka cita menerima kenyataan bahwa ponselnya terpaksa disita bapak untuk sementara waktu.
*
Semenjak siang itu, Lila hanya bisa berdiam diri di kamar, bingung ingin apa. Dan alhasil membuka buku pelajaran dengan keterpaksaan. Malam paling menyebalkan baginya. Tetapi apa boleh buat? Ini juga kesalahannya. Kenapa juga harus teledor hingga nilainya mencapai rekor terburuk yang pernah ada sedangkan semua saudaranya adalah pemilik otak cerdas. Jelas bagi bapak adalah penderitaan jelek sebab kepintaran baginya sangatlah penting.
"Hhh...sial!" umpat gadis itu mengacak-acak meja belajar tak karuan. Pikirannya tengah amburadul sekarang. Ini bencana.
Bagaimana dengan lombanya? Lomba yang sudah sekian lama ia nanti-nantikan. Ya meskipun hadiah tidak cukup banyak, tetapi itu adalah mimpi terbesarnya selama ini. Dan jam 12 nanti sudah batas waktu. Selebihnya, ia gagal dengan kecewa ribuan kali, dengan penyesalan melebihi kemarahan bapaknya yang selalu memaksanya pintar. Dengan wajah berkerut pasrah, menangis lagi, ia merintih tak tertahan.
"Dunia emang nggak adil! Ini nggak ada untung-untungnya! Kenapa pas udah punya hape malah kena sita? Kenapa?! Aku ini salah apa ya Allah!"
Terus menyalahkan takdir dengan emosi yang meluap-luap.
"Semuanya emang nggak ada untungnya! Nggak ada yang mau berpihak! Nggak ada yang mau dengerin! Hhhhhrhggggh!!!"
Tangannya mengenggam pisau karter, siap membelah nadi dalam hitungan detik ketika ia sudah siap. Pintu kamar juga telah rapat terkunci, bapak dan ibu ke rumah bibi sejak maghrib, sedangkan di rumah hanya ada mbak Dinda yang tengah mengurus bayinya di kamar, rumah ini lumayan sepi. Terbesit dalam batin, sekarang atau tidak sama sekali!
"Lila!"
Deg!
Ia terdiam sejenak, menangkap suara yang memanggilnya barusan.
"Lila, ambilin dot di meja dapur! Mbak lagi nggantiin adeknya. Cepet!"
Kontan ia melempar pisau kecil dari genggamannya sebelum mbak Dinda berteriak lebih kencang lagi. Sebab ia sadar bahwa kakaknya satu ini punya sikap panas dan mudah sekali marah. Lebih mematikan dari suara bapak yang jatuhnya menampakkan ketegasan, bukan kemarahan.
**
Paginya, Lila masih bernapas. Rencana bunuh diri semalam gagal total karena Mbak Dinda. Ia berangkat ke sekolah seperti biasa, memakai baju pramuka di hari sabtu, tidak sarapan, melaju dengan sepeda motor dengan kecepatan penuh. Benar saja, ia masih memikirkan perkataan bapak, kalau tidak memperbaiki nilai rapot, hape Lila selamanya akan ada ditangan. Dan otomatis ini mimpi buruk. Ia tidak bisa lagi berkarya, tak bisa lagi membaca banyak materi tentang menulis, dan parahnya setiap perlombaan yang sempat ia rencanakan dibatalkan. Dan mimpinya seketika hancur, hatinya patah, impiannya kabur dibawa emosi bapak.
"Hoi!"
"Hah?" Lila celingukan, sedikit terkejut akan kedatangan orang di bangkunya.
"Ngapain bengong? Kesambet lho ntar!"
"Enggak, Rin. Aku nggak apa-apa kok," jawab Lila tersenyum masam, ingin menutupi masalahnya.
"Soal nilai rapot kemaren, ya?" Rini duduk di samping kiri Lila.
Ia mengangguk lesuh, mengiyakan.
"Udah aku duga! Terus bapakmu gimana? Marah-marah lagi, ya? Aku denger suaranya kemaren pas mau nganterin undangan tapi nggak jadi. Soalnya aku liat kamu di dalem lagi debat. Jadinya aku takut."
"Undangan apa?" Lila menoleh, menatap Rini dengan seksama.
"Undangan lombalah. Katanya kamu mau ikut lomba cerpen yang di mading waktu bagi rapot itu. Jadi, aku nekad dateng ke pengurus madingnya buat minta brosur. Eh..kamu malah lagi ada masalah."
"Bentar deh, Rin. Brosurnya mana sekarang?" Seketika Lila mulai fokus dengan pembicaraan Rini.
"Ada sama Indah. Dia yang bawa. Hehe."
Greek!
Lila mendorong kursi ke belakang, berdiri, ingin mencari Indah secepatnya.
"Eh! Mau ke mana?" sergah Rini menarik lengan Lila untuk kembali duduk.
"Nyari Indah, lah!"
"Dia hari ini sakit. Tuh, suratnya juga udah di meja guru 'kan?"
Lila melepas ikatan lengannya, meraih kertas terlipat di atas meja guru. "Nanti kita jenguk, yuk!"
"Hhh..modus niatmu mah!" Rini mendengus kesal.
"Hehe. Abisnya girang."
Wajar saja. Bagai pelangi setelah hujan. Untuk apa terus bersedih bila bahagia bisa kita temukan?
"Perasaan tadi lesuh banget, deh. Kok tiba-tiba berubah? Aneh."
"Kapan-kapan aku ceritain deh!" ujar Lila kembali duduk di bangkunya.
"Huh! Kamu mah cuman omong doang. Mau cerita tapi ujung-ujungnya rahasia juga. Kesel!"
"Hehe."
"Aku ini siapamu? Sahabat kok tertutup. Nggak seru!"
"Nggak semuanya harus diceritain 'kan?" sahut Lila menyeringai puas.
"Ya..ya.. iya juga sih. Tapi, tapi kan-"
"Sekalipun sahabat, yang namanya manusia juga banyak ingkarnya."
"Nyerah aja deh. Kalau ngomong sama penulis emang harus ngalah," ungkap Rini menghela napas gusar.
"Iya dong! Haha." Lila tertawa, membanggakan diri di depan sahabatnya sambil bergurau.
*****
"Jadi, sekarang mau nge-warnet di mana lagi? Kita udah muter-muter lho ini!" Indah duduk pasrah di sepeda motornya, menunggu keputusan Lila.
"Viko-net gimana? Kayaknya masih buka kalau jam sore gini," celetuk Rini antusias.
Mereka terus berunding, mencari tujuan warnet selanjutnya. Karena hape Lila tidak ada, jadi ini adalah suatu keputusan terbaik, yaitu ke warnet dengan modal flashdisk yang sekiranya dapat membantu dalam penulisan karya perlombaan.
Lantas Indah mengangguk setuju, namun Lila tidak; ia menghela napas lelah sambil menunduk lesu.
"Mending kita pulang aja deh! Kalau sampai jam 5 belum sampai rumah, bisa gawat. Lombanya abaikan aja. Toh! Orang tuaku juga nggak peduli 'kan?" Entah setan dari mana, semangat yang kemarin membara tiba-tiba memudar. Ia menyalakan mesin motor, melaju sendiri ke arah jalan pulang.
Indah dan Rini sedikit tertegun, saling pandang. Kemudian ikut mengejarnya pulang.
*
"Lila! Lil! Lila!" Panggilan kedua temannya tak tersahut. Lila memparkirkan motor dan masuk rumah tanpa menghampiri Indah dan Rini yang terus memanggil namanya di sana.
"Dia lagi butuh sendiri. Udah! Mending kita pulang aja. Aku takut sama bapaknya, kalau nanti dia marah ke kita dan nggak boleh main lagi gimana?" Indah menepuk-nepuk pundak Rini, supaya segera menyalakan motor dan pergi dari pelataran rumah Lila.
Rini tak bergeming, menatap sendu pintu reot di depannya dengan harapan bahwa Lila kembali. "Kita tunggu aja, Ndah." Tangganya masih memegang kunci kontak motor.
"Ck! Tapi kalau nanti-"
"Plis deh, Ndah! Jangan egois dulu. Kita itu sahabatnya 'kan? Harusnya selalu ada di sampingnya pas lagi genting kayak gini."
"Egois?" Kontan Indah mengernyit.
"Ssshh...jangan bikin aku naik pitam dulu lah!"
"Siapa yang naik pitam? Kamu?!"
"Hhhh...kok jadi-"
"Gini deh, Rin. Kita tau dia lagi ada masalah, tapi nggak semua masalah harus kita umbar ke semua orang. Sekalipun kita itu sahabat, kerabat, bahkan keluarganya. Jadi, dia itu cuman butuh ketenangan, biar berpikir gimana baiknya. Bukan malah kita recokin dengan banyak tanya. Nggak penting!"
Rini yang tadi mendengus kesal sedikit diam. Masih mengunyah perkataan Indah.
"Udah! Sekarang mending kita balik aja. Dah sore juga. Kita tunggu besok pas sekolah. Waktu lombanya juga masih lama 'kan? Cukup 3 hari buat dia mikir apakah masih mau lanjut atau stop di sini."
Ia mengangguk, setuju dengan pendapat Indah.
Lalu mereka berboncengan motor, menghilang dari pandangan Lila yang ternyata mengintip dari balik hordeng jendela. Raut wajah senang, sedih, cemas, bercampur jadi satu; masih mencerna pernyataan yang sempat mampir ditelinganya. Dan ia beruntung memiliki mereka, Indah dan Rini.
Baginya, sahabat bukan berarti kita harus tau tentang semua yang ada dalam hidupnya. Tetapi kita harus mencoba memahami tentang ada apa dalam hidupnya. Dan Lila melihat itu dari mereka. Masalahnya sedikit terkuras, sedikit membuatnya lega.
Mungkin ia bisa saja jatuh dalam impiannya, hayalannya, tetapi rasanya itu takkan terjadi dengan mudah bila seseorang yang begitu berharga masih ada di belakangnya.
"Makasih, Rin, Ndah."
**************************************
Masterbet188
BalasHapusCari dana tambahan tanpa harus pusing
BalasHapusAgen Slot Deposit Pulsa Masterbet188 solusinya
bingung cari agen bisa Depo/Wd pakai OVO sini yukkk mampir
Bisa lhooo di MASTERBET188
Pakai rek DANA juga bisa lho 🙂
🎲 Depo pulsa 👉 10.000
🎲 Depo Tf 👉 25.000
🎲 Withdraw 👉 50.000
Info lebih lanjut hubungi 👇
Hubungi Kami :
📲 Whatsapp: +6281397628 286
📲 Line : Masterbet188
🌏 Link 1 : www. masterbets188 .info