Surat Terakhirku..
Ini adalah hari ke tujuh aku tanpa kamu. Di mana sebelumnya aku masih merasakan hangatnya senyum itu. Di mana hari itu, adalah hari pertama aku melihat wajahmu, kita saling bertatap, bercakap singkat penuh kecanggungan. Dan sekarang, aku baru menyadari bahwa itu juga hari terakhir komunikasi berjalan.
Entah! Aku ini kau anggap apa? Hatiku kau pikir jenis apa? Ini bukan hati baja yang selalu kuat meski diterjang hujaman benda tajam! Aku bisa terluka seperti dirimu.
"Assalamu'alaikum," sapamu kala itu.
"Wa'alaikumussalam, Bang." Aku masih tak menyangka kamu akan menghubungiku lewat VideoCall.
"Ngapain?"
"Lagi nunggu temen, Bang."
"Lha, nggak sekolah?"
"Ini udah mau berangkat. Masuk siang aku, Bang." Jantungku berdegup dua kali lipat dari biasanya.
"Ooh. Uuhuk!!"
Kamu batuk?
"Iya, lagi tak enak badan. Ekhem," ujarmu menyegarkan tenggorokan.
Aku yang masih berbunga-bunga, tidak fokus dengan keadaan. Duduk pun sekarang jadi tak nyaman. Membayangkan betapa girangnya hatiku bisa menatap sosok lelaki yang kunanti-nanti. Tuk menjadi seseorang yang berharga. Lalu dapat menjadi panutanku sampai akhir usia.
Ya! Itulah sedikit yang kuingat. Aku senang. Aku gugup. Aku bahagia. Aku terbang. Dan sulit bila harus kuceritakan rasa menggebu ini pada dunia. Semua terasa bagai surga yang kusewa sendiri secara cuma-cuma.
Hingga lambat-laun, bahagia itu terganti dengan rasa duka yang amat dalam. Sedih yang tak ada habisnya. Dan menjadi kisah pilu tanpa akhir. Kamu kembali hilang, meninggalkan bayang hitam, melepasku perlahan-lahan. Kita menjadi lebih jauh. Sangat jauh. Kita berpisah.
Mungkin kau rasa ini biasa. Atau aku saja yang terlalu berlebihan atas pengaharapan. Terserah, itu keputusanmu. Yang aku ingin katakan sekarang adalah jangan kembali lagi.
Jangan kembali demi hati yang sama lantas pergi untuk luka yang sama pula. Kamu tidak mengerti tentang beratnya pikulanku menunggumu meski kau tak mau aku menunggu. Kamu tidak tahu begitu hebatnya arus cinta yang tercipta untukmu. Tetapi nyatanya, kau biarkan aku terguling sendirian, kesakitan, juga tak berdaya.
Meski atma ini masih menyimpanmu dalam mahligai cinta. Namun, aku tidak ingin jatuh sendiri. Pergilah jangan kembali. Hempaskan saja rasa yang kamu bilang sama. Buang saja aku dari hatimu! Sudilah bila aku menepi. Jangan mengejar. Percumalah kau kejar jika hati tak ingin. Biar saja. Mengalir seperti air, dan lihat ke mana ia akan berhenti.
Selesai...
Ini adalah hari ke tujuh aku tanpa kamu. Di mana sebelumnya aku masih merasakan hangatnya senyum itu. Di mana hari itu, adalah hari pertama aku melihat wajahmu, kita saling bertatap, bercakap singkat penuh kecanggungan. Dan sekarang, aku baru menyadari bahwa itu juga hari terakhir komunikasi berjalan.
Entah! Aku ini kau anggap apa? Hatiku kau pikir jenis apa? Ini bukan hati baja yang selalu kuat meski diterjang hujaman benda tajam! Aku bisa terluka seperti dirimu.
"Assalamu'alaikum," sapamu kala itu.
"Wa'alaikumussalam, Bang." Aku masih tak menyangka kamu akan menghubungiku lewat VideoCall.
"Ngapain?"
"Lagi nunggu temen, Bang."
"Lha, nggak sekolah?"
"Ini udah mau berangkat. Masuk siang aku, Bang." Jantungku berdegup dua kali lipat dari biasanya.
"Ooh. Uuhuk!!"
Kamu batuk?
"Iya, lagi tak enak badan. Ekhem," ujarmu menyegarkan tenggorokan.
Aku yang masih berbunga-bunga, tidak fokus dengan keadaan. Duduk pun sekarang jadi tak nyaman. Membayangkan betapa girangnya hatiku bisa menatap sosok lelaki yang kunanti-nanti. Tuk menjadi seseorang yang berharga. Lalu dapat menjadi panutanku sampai akhir usia.
Ya! Itulah sedikit yang kuingat. Aku senang. Aku gugup. Aku bahagia. Aku terbang. Dan sulit bila harus kuceritakan rasa menggebu ini pada dunia. Semua terasa bagai surga yang kusewa sendiri secara cuma-cuma.
Hingga lambat-laun, bahagia itu terganti dengan rasa duka yang amat dalam. Sedih yang tak ada habisnya. Dan menjadi kisah pilu tanpa akhir. Kamu kembali hilang, meninggalkan bayang hitam, melepasku perlahan-lahan. Kita menjadi lebih jauh. Sangat jauh. Kita berpisah.
Mungkin kau rasa ini biasa. Atau aku saja yang terlalu berlebihan atas pengaharapan. Terserah, itu keputusanmu. Yang aku ingin katakan sekarang adalah jangan kembali lagi.
Jangan kembali demi hati yang sama lantas pergi untuk luka yang sama pula. Kamu tidak mengerti tentang beratnya pikulanku menunggumu meski kau tak mau aku menunggu. Kamu tidak tahu begitu hebatnya arus cinta yang tercipta untukmu. Tetapi nyatanya, kau biarkan aku terguling sendirian, kesakitan, juga tak berdaya.
Meski atma ini masih menyimpanmu dalam mahligai cinta. Namun, aku tidak ingin jatuh sendiri. Pergilah jangan kembali. Hempaskan saja rasa yang kamu bilang sama. Buang saja aku dari hatimu! Sudilah bila aku menepi. Jangan mengejar. Percumalah kau kejar jika hati tak ingin. Biar saja. Mengalir seperti air, dan lihat ke mana ia akan berhenti.
Selesai...
Komentar
Posting Komentar